Masih Galau Sertifikasi Guru

Sertifikasi guru jalur SG-PPG beberapa hari terakhir jadi trending topik di dunia maya (duniane bojoku brarti ya...halah lebay hehe). Semua perbincangan guru semua mengarah ke situ. Hampir semua menyayangkan biaya yang sangat muahal bagi ukuran guru. Hampir semua mempertanyakan kebijakan yg membedakan antara model PLPG dengan SG-PPG yang bak bumi dan langit dr segi biaya. Semua tak habis pikir dengan perbedaan itu, padahal sama sama berposisi guru dalam jabatan.
Dari sosialisasi kemarin, yang diinfokan biaya SG-PPG di Kotim antara 25-40 juta, sangat jauh dari info yang beredar di level nasional yang berkisar 15 juta. Ada apa ini? Perbedaannya begitu njomplang. Mengapa di Kotim bisa setinggi itu?
Di koran Kompas hari ini termuat judul Sertifikasi Guru Mangkrak, biaya 15 juta memberatkan. Dari situ terbaca jelas ,guru2 se Indonesia keberatan dengan biaya tersebut. Jangankan 25-40 juta, 15 juta wae abot cak...iku durung biaya tetek bengek lainnya kayak transport dll. Bisa bisa bengkak biayanya. Ada juga berita online seorang pengamat mengatakan bahwa sertifikasi guru dengan biaya mahal melanggar hak guru. Hak guru untuk bisa sama dengan guru yang PLPG secara gratis.
Sempat kudengar juga ada yang komen jelas berat biaya segitu, guru siapa sich yang ga tau, hutangnya dimana mana. Nada ngomongnya sinis lg. Sebenarnya kami ga munafik bahwa kami memang banyak hutang, tapi hutangnya bukan untuk foya foya tapi untuk kebutuhan hidup. Beli rumah, siapa sich yang ga pengin rumah sendiri, beli motor untuk mobilitas kerja, beli laptop untuk mengejar tuntutan penggunaan TI yang notabene pemerintah ga bisa nyediakan laptop buat masing masing guru. Itu ga bakal kebeli kalo ga hutang atau kredit, selain tentunya untuk biaya hidup dan sekolah keluarga. Eh sudah kaya gitu masih dikomentar sinis, seolah menghina guru yang hutang. Klo semua dipaksa bayar 15 juta untuk sertifikasi, trs darimana kami bisa hidup? Bukan kami sok ngenes, tapi kami ga semua dari kluarga kaya yang ngandalin warisan, yang mungkin jg sumbernya ga jelas. Weisss malah curhat berkepanjangan.... :-D
Akhirnya, bukan kami ga mau melaksanakan program pemerintah, tapi kami keberatan dengan biaya sebesar itu. Yang berpendapat pun bukan hanya kami saja, tapi pengamat pun juga berkomentar sama. Belum ditambah pungutan ga jelas yang pasti kedepannya akan ada. Kami sadar bahwa kami wajib sertifikasi sesuai amanat UU, tapi hidup kami ga melulu untuk sertifikasi. Kami ga kenyang hanya dengan pujian Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, apalagi jika itu hanya lipservice untuk meredam kemarahan kami. Sedikit banyak kami bisa merasa pasti ada apa apa di balik biaya selangit itu. Aturan hanyalah buatan manusia, bisa dipermudah atau dipersulit. Kami ga mau jika sudah pegang selembar sertifikat seharga 15 juta, atau bahkan kalo nanti 25-40 juta, pencairan tunjangan yang menjadi hak kami masih dipersulit dengan alasan klasik, kurang jam. Kurang 1-2 jp aja ga cair.pengalaman teman kami sudah cukup jadi cermin, padahal kami tau dia sudah berjuang ngajar dengan sepenuh hati. Bujukan kesejahteraan ga akan mempan jika masih bayar mahal. MAU SEJAHTERA KOK ONGKOSNYA 25 JUTA. KETEMU NALAR????YA KALAU GA DIPERSULIT PENCAIRANNYA.

Ciao....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seluk Beluk Kapal Selam